AYO BUDAYAKAN GEMARIKAN NASIONAL 2017
Gerakan Makan Ikan, Budaya Bahari, dan Kualitas Hidup Bangsa
Prof Rochmin Dahuri Guru Besar Fakultas Perikanan IPB Bogor
Dimuat pada Harian Kompas – Senin, 14 Juni 2004
DALAM tiga tahun berturut-turut ilmuwan Jepang pernah membuat hat-trick pada acara penerimaan hadiah Nobel untuk bidang kimia. Tahun 2000, Hideki Shirakawa menerima hadiah tersebut bersama dua ilmuwan lainnya dari luar Jepang.
Setahun berikutnya giliran Ryoji Noyori, dan tahun 2002 Koichi Tanaka merebut hadiah itu bersama ahli kimia dari negara lain. Selain tiga ilmuwan tersebut, tercatat delapan lagi warga Jepang yang menerima hadiah Nobel untuk bidang fisika, sastra, kedokteran, dan perdamaian.
Selain soal Nobel, kehebatan Negara Matahari Terbit tersebut juga mengenai tingkat harapan hidup. Saat ini, kaum pria Jepang bisa berharap hidup sampai usia 78 tahun dan kaum perempuannya 85 tahun. Amerika Serikat, usia harapan hidup kaum prianya 76 tahun dan perempuan 80 tahun.
Sementara untuk orang tertua di dunia adalah Kamato Hongo berusia 114 tahun, perempuan dari Pulau Kyusu, Jepang Selatan. Yukichi Chuganji (111 tahun), juga berasal dari Pulau Kyusu merupakan pria tertua di dunia. Dua fakta itu bisa menjadi indikasi tingginya tingkat kesehatan dan kecerdasan rakyat Jepang.
Nilai gizi ikan
Dalam 25 tahun terakhir banyak sekali penemuan ilmiah dari para ahli gizi dan kesehatan dunia yang membuktikan bahwa ikan dan jenis seafood lainnya sangat baik untuk kesehatan serta kecerdasan manusia (Fridman, 1998).
Kenyataan ini disebabkan karena ikan (seafood) rata-rata mengandung 20 persen protein yang mudah dicerna dengan komposisi asam amino esensial yang seimbang. Ikan juga mengandung omega-3 yang sangat penting bagi perkembangan jaringan otak, dan mencegah terjadinya penyakit jantung, stroke, dan darah tinggi.
Lebih dari itu, omega-3 juga dapat mencegah terjadinya penyakit-penyakit inflamasi seperti arthritis, asma, colitis, dermatitis serta psoriasis; beberapa jenis penyakit ginjal; dan membantu penyembuhan penyakit depresi, skizofrenia serta gejala hiperaktif pada anak-anak (FAO and WHO, 1996).
Tabel 1, menunjukkan kandungan omega-3 beberapa jenis ikan konsumsi. Seafood juga mengandung berbagai jenis mineral dan vitamin seperti A, D, dan K serta yodium. Seperti kita ketahui, bahwa yodium sangat ampuh untuk pencegahan penyakit gondok.
Singkatnya, dengan makan ikan yang mencukupi maka dapat memberikan tiga keuntungan bagi kita.
Pertama, baik untuk kesehatan dan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap berbagai macam penyakit.
Kedua, asam lemak tak jenuh, termasuk omega-3, yang terkandung dalam ikan, sangat membantu perkembangan sel otak yang dapat meningkatkan kecerdasan (IQ) manusia. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kandungan mineral, vitamin, dan zat hara yang tinggi dalam ikan juga dapat meningkatkan vitalitas seksual pengkonsumsinya.
Oleh karena itu, wajar jika bangsa Eskimo di Greenland hampir tidak pernah terkena serangan jantung karena hampir seluruh dietnya berasal dari ikan. Sementara itu, bangsa Jepang yang mengkonsumsi ikan rata-rata 110 kilogram (kg)/ orang/tahun merupakan bangsa dengan kualitas kesehatan serta kecerdasan tertinggi di dunia.
Tingkat konsumsi ikan rata-rata per kapita per tahun di Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Malaysia berturut-turut adalah 80, 70, 65, 60, 35, dan 30 kg. Sedangkan tingkat konsumsi ikan rata-rata bangsa Indonesia pada tahun 1998 sebesar 17 kg/orang/tahun, dan pada tahun 2003 mencapai 23 kg/ orang/tahun. Permintaan global terhadap ikan dan produk perikanan lainnya dalam sepuluh tahun terakhir pun meningkat, terutama setelah munculnya wabah penyakit sapi gila, flu burung, dan penyakit kuku dan mulut.
Potensi perikanan
Perikanan adalah sistem usaha (bisnis) manusia dalam memanfaatkan (memproduksi) sumber daya ikan dan organisme (biota) perairan lainnya, mengolah (handling and processing), dan memasarkannya. Berdasarkan pada cara produksi (pemanfaatan)-nya, usaha perikanan dapat dibedakan menjadi usaha perikanan tangkap dan perikanan budi daya.
Kegiatan usaha perikanan tangkap pada umumnya dilakukan di laut, tetapi dapat pula dilakukan di perairan umum seperti danau, waduk, sungai, dan perairan rawa. Dalam pada itu, kegiatan usaha perikanan budi daya dapat dikerjakan di laut (mariculture); di perairan payau atau tambak; atau di perairan umum, kolam air tawar, saluran irigasi, dan sawah (mina-padi).
Indonesia, yang tiga per empat wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2) dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi lestari (maximum sustainable yield) ikan laut seluruhnya 6,4 juta ton/tahun atau sekitar 7 persen dari total potensi lestari ikan laut dunia. Artinya, jika kita dapat mengendalikan tingkat penangkapan ikan laut lebih kecil dari 6,4 juta ton/tahun maka kegiatan usaha perikanan tangkap semestinya dapat berlangsung secara lestari (sustainable).
Pada tahun 2003 total hasil tangkapan ikan laut mencapai 4,1 juta ton (63% dari potensi lestari). Sedangkan potensi lestari ikan perairan umum (54 juta hektar) seluruhnya sekitar 0,9 juta ton/tahun, dan baru dieksploitasi sebesar 0,5 juta ton (55 persen dari potensi lestari) pada tahun 2003.
Sementara itu, luas laut yang sesuai untuk usaha budi daya laut (kerapu, baronang, kakap, bandeng, kuda laut, kekerangan, kerang mutiara, rumput laut, dan lain-lain) sekitar 24 juta ha dengan potensi produksi sebesar 47 juta ton/tahun, dan baru diproduksi sebesar 0,7 juta ton (1,5 persen) pada tahun 2003.
Luas lahan pesisir (coastal lands) yang cocok untuk budi daya tambak (udang, bandeng, kerapu, kepiting, rumput laut, dan lain-lain) sekitar 1 juta ha dengan potensi produksi 5 juta ton/tahun; dan baru dimanfaatkan seluas 0,35 juta ha dengan total produksi sebesar 0,4 juta ton (8 persen) pada tahun 2003. Potensi produksi budidaya di perairan umum, kolam air tawar, saluran irigasi, dan mina- padi (nila, mas, gurame, lele, patin, bawal air tawar, dan lain- lain) seluas 13,7 juta ha diperkirakan sebesar 5,7 juta ton/tahun, dan baru diproduksi sebesar 0,3 juta ton (5,5 persen) pada tahun 2003 (lihat Tabel 2).
Nilai ekonomi usaha perikanan termasuk industri bioteknologi kelautan dan perairan tawar diperkirakan sebesar 82 miliar dollar AS per tahun (lihat Tabel 3). Oleh karena sumber daya perikanan dan industri bioteknologi merupakan sumber daya dapat pulih (renewable resource), maka jika kita dapat mengelolanya secara bijaksana, nilai ekonomi sebesar itu dapat kita raih setiap tahun secara berkesinambungan (on a sustainable basis).
Nilai ekonomi sebesar ini hanya dihasilkan dari aktivitas usaha produksi dan pengolahan (pascapanen) hasil perikanan. Padahal kenyataannya kedua aktivitas usaha perikanan tersebut mampu membangkitkan begitu banyak multiplier effects (efek pengganda) ekonomi berupa industri penunjang usaha perikanan (seperti jaring, mesin kapal, kincir air tambak, pabrik pakan ikan, pabrik es, dan cold storage), jasa transportasi, perhotelan, bank, dan lain sebagainya.
Apabila tahun 1998 Indonesia merupakan negara penghasil ikan terbesar ketujuh di dunia dengan total produksi ikan 4 juta ton, maka seperti tercantum pada Tabel 2 total produksi ikan Indonesia mencapai 6 juta ton pada tahun 2003 yang menempatkan Indonesia sebagai produsen ikan tebesar kelima di dunia.
Dari total produksi 6 juta ton tersebut; 0,5 juta ton diekspor dengan nilai devisa 2 miliar dollar AS; dan sisanya 5,5 juta ton untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pasokan ikan sebesar 5,5 juta ton ini menyumbangkan sekitar 65 persen dari total konsumsi protein hewani setiap orang Indonesia selama tahun 2003. Total produksi perikanan sebesar 6 juta ton baru mencapai sekitar 9 persen dari total potensi produksi perikanan sebesar 65 juta ton/tahun (Tabel 2). Ini berarti bahwa peluang usaha di sektor kelautan dan perikanan masih terbuka sangat luas, khususnya untuk usaha perikanan budi daya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi kelautan dan perikanan.
Di sinilah nilai strategis dan arti penting dari Gemarikan (Gerakan Makan Ikan Nasional) yang telah dicanangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 4 April 2004. Dalam acara itu, Presiden meresmikan Mal atau Pasar Ikan Hiegenis (PIH) di Pejompongan, Jakarta Pusat.
Sebagai salah satu upaya untuk merealisasikan misi Gemarikan, pada tahun 2003 telah dibangun 11 PIH di 10 provinsi; dan pada tahun 2004 ini sedang dibangun lima PIH lainnya di lima provinsi. Apabila Gemarikan mampu meningkatkan konsumsi ikan dan produk-produk kelautan-perikanan lainnya di dalam negeri, maka bukan saja membantu peningkatan kesehatan dan kecerdasan bangsa, tetapi sekaligus kita dapat mengambil berkah (nilai) ekonomi yang sangat besar dari sumber daya perikanan sebagaimana diuraiakan di atas.
Memang tidak ada korelasi langsung antara tingkat konsumsi ikan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Namun tingginya konsumsi ikan setidaknya mendorong tumbuhnya industri perikanan di negara tersebut. Jepang yang panjang pantainya 34.386 km misalnya, kontribusi ekonomi kelautannya terhadap GDP di tahun 1992 sebesar 54 persen atau 21.400 miliar dollar AS.
Jumlah pelabuhan perikanan di negeri Sakura ini sebanyak 3.000 buah yang berarti satu pelabuhan untuk setiap 11 km panjang pantai. Sedangkan Indonesia hanya memiliki sekitar 500 pelabuhan perikanan (satu pelabuhan untuk setiap 162 km panjang pantai). Itu pun, yang representatif sebagai pelabuhan perikanan jumlahnya hanya 18 buah yakni lima pelabuhan perikanan samudra dan 13 pelabuhan perikanan nusantara.
Korea Selatan adalah contoh lainnya. Tingkat konsumsi ikan per kapita/tahun penduduk negari Ginseng ini sebanyak 60 kg pada tahun 1999. Korea Selatan yang panjang pantainya hanya 2.713 km, kontribusi ekonomi kelautan terhadap GDP sebesar 37 persen yang nilainya 147 miliar dollar AS. Lalu China yang panjang pantainya 23.000 km, kontribusinya 48,4 persen dengan nilai 17.350 miliar dollar AS (1999). Sementara Indonesia yang panjang pantainya 81.000 km, pada tahun 1998, kontribusi sektor kelautan dan perikanannya hanya 20% dengan nilai 28 miliar dollar AS (Dutton dan Hotta, 1996; dan Xin, 1999; dan Dahuri, 2003).
Kita juga bisa mencatat negara makmur lainnya yang sektor kelautan dan perikanannya maju. Misalnya Eslandia yang GNP per kapita 26.000 dollar AS (melebihi Amerika Serikat yang 24.000 dollar), di mana 70 persen barang dan jasa ekspornya berupa produk perikanan. Negara di Eropa Barat ini 65 persen GDP-nya dari sektor perikanan. Lalu Norwegia, yang GNP/kapita 30.000 dollar AS/ tahun, kontribusi sektor kelautan dan perikanannya terhadap GDP 25 persen, serta ekspor ikan Salmon-nya 2 miliar dollar AS/tahun.
Dari contoh negara-negara di atas terlihat, sektor kelautan dan perikanan mampu menjadi andalan (prime mover) perekonomian nasional suatu bangsa. Dan itu disebabkan oleh upaya keras, profesional dan bijaksana terhadap sektor tersebut dan tingginya konsumsi ikan masyarakatnya. Meningkatkan konsumsi ikan memang menjadi salah satu misi pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia.
Dalam program Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan (Gerbang Mina Bahari), upaya itu menjadi salah satu tujuannya. Misi dari Gerakan Mina Bahari itu sendiri adalah mempercepat implementasi program pembangunan kelautan dan perikanan untuk mengatasi krisis ekonomi menuju Indonesia yang maju dan makmur melalui pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara optimal, berkelanjutan, dan berkeadilan.
Budaya bahari
Dampak positip lain yang diharapkan dari Gemarikan adalah semakin tersosialisasinya budaya bahari di masyarakat, khususnya kalangan generasi muda. Kultur ini sejatinya sangat mendominasi masyarakat Nusantara semenjak Kerajaan Sriwijaya hingga kerajaan-kerajaan Islam. Namun kolonial Belanda berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan tersebut sehingga kultur agraris (daratan) mendominasi bumi Nusantara.
Meskipun demikian, menurut Nurcholish Madjid, pola budaya Santri/Pesisir yang jadi pola umum budaya “orang melayu pesisir” masih banyak ditemui. Misalnya di Sumatera dan Kalimantan serta kepulauan antara keduanya, juga mayoritas masyarakat pantura Jawa, Aceh, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, sebagian Sulawesi Utara, sebagian Maluku, kemudian Madura, Sumbawa, sebagian Lombok dan kelompok-kelompok tertentu kepulauan lain di Nusa Tenggara (Madjid, 2002).
Menurut Nurcholish Madjid, masyarakat-masyarakat berpola dasar budaya pesisir lebih mampu memahami dan menerima pandangan negara kebangsaan modern yang berciri asasi keadilan, faham persamaan manusia, keterbukaa, mobilitas tinggi, dan kosmopolitanisme.
Ciri-ciri budaya tersebut cocok dengan tuntutan global dan nasional saat ini yang menghendaki good governance, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, dan pluralitas bagi terwujudnya Indonesia yang maju, makmur, berkeadilan dan pluralitas bagi terwujudnya Indonesia yang maju, makmur, berkeadilan dan diridloi Tuhan YME.
Terima kasih kunjungan sobat edukasi sejati
BalasHapus